PIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TERHADAP PENDIDIKAN DI ERA MODERN

Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya memanusiakan manusia. Melalui pendidikan, seorang manusia diharapkan menemukan dirinya dari mana asalnya. Hadir di dunia ini apa adanya, dan setelah kehidupan ini mau dibawa kemana. Sehingga ia menjadi lebih manusiawi dalam berpikir dan bertindak.

Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan pada umumnya dapat dinilai dari outputnya, yaitu manusia sebagai produk pendidikan. Pendidikan harus mampu menghasilkan manusia yang dapat
mempertanggungjawabkan tugas kemanusiaan dan tugas ketuhanan. Manusia mampu berbuat dan memberikan manfaat baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dan sebaliknya. Jika outputnya adalah manusia yang tidak mampu menjalankan tugasnya, maka pendidikannya gagal.
Rusn Ibn Abidin (1998) menganalisis, kegagalan pendidikan saat ini disebabkan karena prosesnya masih menghadapi beberapa masalah, seperti:
  1. Perbedaan penekanan antara pengertian “pendidikan” yang menekankan aspek budi pekerti dan akal, dan pengertian tentang pendidikan. “ajaran” yang menekankan pada konsumsi otak. Proses pendidikan sekarang lebih menekankan pada istilah yang terakhir. Proses pendidikan cenderung lebih mengembangkan aspek kognitif dan psikomotorik. Padahal, aspek efektif merupakan salah satu ukuran keberhasilan yang tidak bisa dipungkiri.
  2. Konsep tujuan pendidikan dewasa ini lebih berorientasi pada hal-hal materialistis. Akibatnya, selama mereka memenuhi tugas formal, guru enggan bertanggung jawab secara moral.
  3. Tujuan utama siswa dalam belajar adalah untuk memperoleh ijazah dan selanjutnya melamar pekerjaan. Ini adalah penyakit yang melanda dunia pendidikan yang sebenarnya mendapat perhatian dari pemerintah sekarang. Jarang terjadi motivasi belajar siswa untuk menyebarkan kebajikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Memang, banyak ditemukan bahwa motivasi belajar siswa adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus dari sekolah.
  4. Kurangnya suasana kasih sayang antara guru dan siswa dalam interaksi edukatif. Seringkali guru atau dosen menjadi diktator bagi para siswanya. Akibatnya komunikasi sering lumpuh.
Masalah pendidikan memerlukan perhatian dan penanganan khusus secara menyeluruh. Perubahan tersebut tidak hanya menyangkut mata pelajaran siswanya, metode pengajaran, kurikulum, dan aspek-aspek lain yang mendukung tercapainya maksud dan tujuan pendidikan. Tetapi juga menyangkut esensi dan paradigma bagaimana memandang pendidikan itu sendiri.

Melalui Imam al-Ghazali, kami menawarkan konsep pendidikan yang memperhatikan fitrah manusia. Sistem pendidikan agama Islam tidak mengenal pendidikan agama dan pendidikan umum tanpa mengaitkan keduanya. Tidak ada istilah aqliyah tanpa mencantumkan syar'iyyah, tidak mengembangkan aspek kognitif-afektif dan psikomotorik kecuali sekali.

Dengan hilangnya nilai-nilai aqliyah bagi pengembangan ilmu agama dan hilangnya nilai-nilai khuluqiyah yang berkembang bagi ilmu-ilmu umum dalam sistem pendidikan, maka perlu dilakukan pembenahan sistem pendidikan secara integral. Konsep pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan telah berpedoman pada pemikiran tentang fitrah manusia yang tidak akan berubah. Sehingga selalu kekinian dan tidak pernah ketinggalan zaman.

Imam Al-Ghazali menganggap manusia itu Theocentric (Syafe'ie, 1992). Dengan demikian, dalam proses pendidikan, tugas guru bukan hanya mendidik akal, melainkan bagaimana membimbing, mengarahkan, memperbaiki, dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena tujuan pendidikan menurut Imam al-Ghazali adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Kemudian Imam al-Ghazali mengemukakan tentang pembagian ilmu dan sifat-sifatnya. Jurnal Studi dan Penelitian Pendidikan Islam bertujuan pembagian ilmu yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali, bukan karena Imam al-Ghazali ingin mengutamakan satu jenis ilmu dari pada jenis-jenis yang lain seperti yang banyak dituduhkan; tetapi agar setiap muslim menguasai ilmu ukhrawi sebagai landasan ilmu duniawi. Oleh karena itu, ketika ilmu yang dinilai “fard' ain” telah dikuasai, maka berbagai ilmu “fard' kifayah” dipelajari untuk membawa seorang siswa meningkatkan ketakwaan kepada Allah.

Sedangkan pemikiran Imam al-Ghazali tentang tujuan pendidikan semata-mata ketaatan kepada Allah bukanlah tujuan yang konservatif. Itu karena bukan hanya tujuan pendidikan saja, tujuan hidup pun harus berorientasi kepada Tuhan saja. Itulah tujuan utama penciptaan manusia sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdi kepada-Ku (Surat adz-Dzariyaat: 56)".

Segala sesuatu yang kita lakukan, harus ditujukan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Jika dalam prakteknya ada siswa yang diminta mengajar untuk mendapatkan reward/gaji, maka itu hanyalah konsekuensi logis belaka. Tidak dijadikan sebagai “tujuan utama” niatnya berkecimpung di dunia pendidikan. Pemikiran Imam Al-Ghazali bahwa “mahasiswa tidak bercita-cita untuk mencari kedudukan, kekayaan, dan kemegahan” karena Imam  al-Ghazali tidak ingin para santri mau melakukan segalanya untuk mendapatkan hal-hal duniawi tersebut. Sedangkan jika niatnya semata-mata karena Allah, ia akan belajar dengan sungguh-sungguh dengan tidak mencontek seperti suap, curang, dan lain-lain, karena ia tidak tergiur dengan jabatan duniawi.

Dalam kasus pemujaan terhadap guru, Imam al-Ghazali berpendapat hal ini disebabkan oleh penghormatan yang sangat tinggi kepada mereka yang memiliki ilmu. Karena menurutnya, Allah juga memberikan apresiasi yang tinggi bagi orang yang berilmu. Imam Al-Ghazali berkata, “Sesungguhnya Allah memulai dengan dirinya sendiri, kemudian malaikat, dan tiga ilmuwan. Cukuplah itu sebagai suatu kemuliaan dan keutamaan” (Qaradawi, 1998). Fakta bahwa Adam As dimuliakan oleh Allah untuk menunjukkan ketinggiannya dibandingkan dengan malaikat bukan dengan ketaatan tetapi dengan ilmu, menyebabkan Imam  al-Ghazali menempatkan guru sebagai yang paling mulia.

Betapa tingginya perhatian Imam al-Ghazali terhadap ilmu, bahkan beliau menggambarkan: “Sesungguhnya ilmu adalah kehidupan hati (membebaskan diri) dari kegelapan, kekuatan fisik (membebaskan diri) dari kelemahan; seorang hamba dapat mencapai kedudukan yang terhormat dan tinggi. tempat dengan ilmu..".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kiat untuk Meningkatkan Penglihatan Malam dengan Mudah

Distributed Denial of Service (DDoS): Ancaman dan Cara Menghadapinya dalam Web Hosting

Navigasi Layanan Kesehatan Internasional: Memahami Proses Berobat di Penang